Harian Kompas terbitan Minggu (23/5) memperkenalkan fitur baru yang mampu meng-'kolaborasi'-kan pengalaman nyata membaca Kompas versi cetak dengan "pengalaman virtual" menjelajahi konten tambahan pada edisi Kompas AR yang berada di dunia maya melalui teknologi Augmented Reality (AR). Pembaca Kompas cetak yang menemukan berita atau iklan yang dilengkapi fitur AR (dapat dikenali dari adanya ikon Kompas AR) tinggal mengarahkan konten tersebut menghadap webcam yang terpasang pada PC atau laptopnya. Aplikasi AR akan mengenali konten tersebut, yang lantas me-load konten tambahan pada layar komputer mereka.
Inovasi teknologi media yang cukup menarik, bukan? Kompas adalah media pertama dan satu-satunya di Asia - setidaknya hingga posting ini dipublish - yang menerapkan AR. Tapi tunggu dulu. Teknologi augmented reality rupanya tidak hanya berhenti pada fungsi melakukan pairing antara media cetak dengan versi online-nya. Sangat banyak aplikasi-aplikasi lain berbasis augmented reality yang tidak kalah mengagumkan, bahkan lebih ekstensif dari apa yang diaplikasikan oleh harian Kompas. Namun sebelumnya kita perlu mengenal teknologi AR lebih dekat.
Augmented reality (AR), sesuai namanya, adalah teknologi yang mampu menyuguhkan informasi dan gambaran tambahan secara virtual (virtual computer-generated imagery) mengenai suatu obyek fisik di dunia nyata ketika obyek tersebut dapat dikenali melalui metode computer vision dan object recognition, dan dianalisis oleh komputer menggunakan perangkat lunak aplikasi AR. Komponen perangkat keras (hardware) utama untuk melayani penerapan augmented reality meliputi display, tracking, peralatan masukan data (input devices), dan CPU.
Komponen-komponen hardware untuk mendukung teknologi AR tersebut saat ini bukan lagi monopoli komputer desktop atau laptop. Kini, sebuah smartphone modern yang berkualitas sepeti iPhone atau smartphone dengan sistem operasi Android umumnya telah dilengkapi prosesor yang powerful, kamera beresolusi beberapa megapixel, accelerometer, GPS, dan solid state compass sebagai fitur standar. Kemampuan smartphone saat ini nyaris tidak berbeda dengan komputer desktop, hanya dimensinya yang lebih kecil. Karena itu smartphone justru dipandang sebagai platform yang lebih prospektif untuk pengembangan AR daripada komputer biasa.
Contoh aplikasi berbasis Augmented Reality pada smartphone yang mengagumkan adalah Wikitude AR. Wikitude adalah aplikasi pemandu perjalanan atau penentu lokasi yang menggunakan kombinasi informasi lokasi GPS dan location-based Wikipedia serta konten dari situs informasi perjalanan Qype. Dengan Wikitude, pengguna cukup mengarahkan kamera ponsel ke suatu obyek, misalnya sebuah gunung yang menjulang di hadapannya, dan Wikitude akan menyuguhkan data-data mengenai gunung tersebut, meliputi nama, tingginya, dan informasi-informasi lain sebagai overlay. Simak video berikut untuk melihat demonstrasi penggunaan Wikitude:
Istilah Augmented Reality pertama kali dicetuskan pada tahun 1990 oleh Thomas Caudell, seorang karyawan Boeing. Ide dasar augmented reality adalah melakukan superimpose grafik, audio, dan pengaya sensorik lain pada tampilan lingkungan nyata secara real time.
Sepintas apa yang ditawarkan AR tidak berbeda dengan teknologi broadcast televisi, yang juga mampu melakukan superimposing informasi dan grafik pada tayangannya. Namun teknologi AR memiliki keunggulan yang tidak dimiliki teknologi broadcast. Teknologi broadcast hanya mampu menampilkan satu grafik superimpose buat semua pemirsa, entah si pemirsa itu butuh atau tidak. Sementara sistem AR seperti Wikitude mampu menampilkan grafik dan informasi tambahan yang berbeda-beda, tergantung posisi dan perspektif masing-masing pengguna, dan terutama, kebutuhan mereka.
Melihat perbedaan karakteristik tersebut, fitur AR yang ditampilkan Kompas melalui Kompas AR sebetulnya aplikasi Augmented Reality dalam bentuk dasar, karena masih bersifat broadcast, alias memberikan informasi yang seragam dan searah buat semua pembaca, bukan grafik dan data yang benar-benar terspesialisasi sesuai perspektif masing-masing pembaca.
Tetapi kekurangan tersebut mungkin lebih disebabkan oleh karakteristik bawaan media massa itu sendiri, yang hampir semua kontennya dibuat secara internal dan satu arah oleh pekerja media tersebut, bukan user-generated content. Padahal teknologi AR, seperti jamaknya teknologi web lain, mengandalkan konten dari sumberdaya yang masif dan terbuka selain mengakses fungsi-fungsi APIs dan tool dari pihak ketiga seperti Google (Android) dan Apple (iPhone) sebagai platform app-nya. Pada contoh aplikasi Wikitude, dia punya resources eksternal - Wiki dan Qype - yang memiliki koleksi lebih dari 350 ribu informasi tempat-tempat penting di seluruh dunia (point-of-interest) yang di-deliver sesuai lokasi si pengguna saat itu.
Selain Wikitude, banyak aplikasi Augmented Reality lain yang tak kalah keren. Mashable melalui artikelnya yang dipublish pada 5 Desember 2009 memuat list 10 iPhone apps berbasis AR, dari yang fungsional buat keperluan bisnis atau pendidikan hingga yang sekadar buat fun. Contoh app menarik tersebut adalah Pocket Universe: Virtual Sky Astronomy, iPhone app untuk belajar astronomi yang memuat data 10 ribu bintang, 88 konstelasi bintang, hujan meteor, hingga fase-fase bulan. Cukup arahkan iPhone anda ke langit malam yang lagi cerah, Pocket Universe akan menampilkan informasi tentang bintang atau planet yang sedang anda bidik.
App lain bernama WorkSnug bikinan Plantronic ditujukan buat pekerja digital yang tidak punya kantor tetap, dan mengandalkan kafe atau tempat hangout lain yang memiliki fasilitas Wifi buat tempat menggarap pekerjaan dengan laptopnya. WorkSnug membantu mereka mencari lokasi hotspot dan tempat kerja yang layak - dari warung kopi sampai rent-a-desk office spaces (tempat kerja personal dengan sistem sewa kilat). Infomasi lokasi yang disuplai WorkSnug berasal dari review pengguna yang pernah berada di tempat itu, meliputi kenyamanan tepmat, atmosfer, berisik atau tidak, hingga kualitas kopi yang disuguhkan.
WorkSnug baru tersedia buat mereka yang bertempat tinggal di London. Namun siapa tahu ada developer Indonesia yang mengembangkan iPhone atau Android app sejenis buat kebutuhan pekerja digital di Jakarta dan kota-kota lain yang lebih suka bebas berkantor di mana saja sepanjang akses internet tersedia? Atau barangkali divisi IT Kompas yang akan kembali mempeloporinya sebagai business branch, karena toh definisi "bisnis konten" saat ini sangat luas dan tidak harus terpaku pada produk hasil karya jurnalistik tradisional semata (yang pamornya kian redup dihantam Google dan social media)?
Inovasi teknologi media yang cukup menarik, bukan? Kompas adalah media pertama dan satu-satunya di Asia - setidaknya hingga posting ini dipublish - yang menerapkan AR. Tapi tunggu dulu. Teknologi augmented reality rupanya tidak hanya berhenti pada fungsi melakukan pairing antara media cetak dengan versi online-nya. Sangat banyak aplikasi-aplikasi lain berbasis augmented reality yang tidak kalah mengagumkan, bahkan lebih ekstensif dari apa yang diaplikasikan oleh harian Kompas. Namun sebelumnya kita perlu mengenal teknologi AR lebih dekat.
Augmented reality (AR), sesuai namanya, adalah teknologi yang mampu menyuguhkan informasi dan gambaran tambahan secara virtual (virtual computer-generated imagery) mengenai suatu obyek fisik di dunia nyata ketika obyek tersebut dapat dikenali melalui metode computer vision dan object recognition, dan dianalisis oleh komputer menggunakan perangkat lunak aplikasi AR. Komponen perangkat keras (hardware) utama untuk melayani penerapan augmented reality meliputi display, tracking, peralatan masukan data (input devices), dan CPU.
Komponen-komponen hardware untuk mendukung teknologi AR tersebut saat ini bukan lagi monopoli komputer desktop atau laptop. Kini, sebuah smartphone modern yang berkualitas sepeti iPhone atau smartphone dengan sistem operasi Android umumnya telah dilengkapi prosesor yang powerful, kamera beresolusi beberapa megapixel, accelerometer, GPS, dan solid state compass sebagai fitur standar. Kemampuan smartphone saat ini nyaris tidak berbeda dengan komputer desktop, hanya dimensinya yang lebih kecil. Karena itu smartphone justru dipandang sebagai platform yang lebih prospektif untuk pengembangan AR daripada komputer biasa.
Contoh aplikasi berbasis Augmented Reality pada smartphone yang mengagumkan adalah Wikitude AR. Wikitude adalah aplikasi pemandu perjalanan atau penentu lokasi yang menggunakan kombinasi informasi lokasi GPS dan location-based Wikipedia serta konten dari situs informasi perjalanan Qype. Dengan Wikitude, pengguna cukup mengarahkan kamera ponsel ke suatu obyek, misalnya sebuah gunung yang menjulang di hadapannya, dan Wikitude akan menyuguhkan data-data mengenai gunung tersebut, meliputi nama, tingginya, dan informasi-informasi lain sebagai overlay. Simak video berikut untuk melihat demonstrasi penggunaan Wikitude:
Istilah Augmented Reality pertama kali dicetuskan pada tahun 1990 oleh Thomas Caudell, seorang karyawan Boeing. Ide dasar augmented reality adalah melakukan superimpose grafik, audio, dan pengaya sensorik lain pada tampilan lingkungan nyata secara real time.
Sepintas apa yang ditawarkan AR tidak berbeda dengan teknologi broadcast televisi, yang juga mampu melakukan superimposing informasi dan grafik pada tayangannya. Namun teknologi AR memiliki keunggulan yang tidak dimiliki teknologi broadcast. Teknologi broadcast hanya mampu menampilkan satu grafik superimpose buat semua pemirsa, entah si pemirsa itu butuh atau tidak. Sementara sistem AR seperti Wikitude mampu menampilkan grafik dan informasi tambahan yang berbeda-beda, tergantung posisi dan perspektif masing-masing pengguna, dan terutama, kebutuhan mereka.
Melihat perbedaan karakteristik tersebut, fitur AR yang ditampilkan Kompas melalui Kompas AR sebetulnya aplikasi Augmented Reality dalam bentuk dasar, karena masih bersifat broadcast, alias memberikan informasi yang seragam dan searah buat semua pembaca, bukan grafik dan data yang benar-benar terspesialisasi sesuai perspektif masing-masing pembaca.
Tetapi kekurangan tersebut mungkin lebih disebabkan oleh karakteristik bawaan media massa itu sendiri, yang hampir semua kontennya dibuat secara internal dan satu arah oleh pekerja media tersebut, bukan user-generated content. Padahal teknologi AR, seperti jamaknya teknologi web lain, mengandalkan konten dari sumberdaya yang masif dan terbuka selain mengakses fungsi-fungsi APIs dan tool dari pihak ketiga seperti Google (Android) dan Apple (iPhone) sebagai platform app-nya. Pada contoh aplikasi Wikitude, dia punya resources eksternal - Wiki dan Qype - yang memiliki koleksi lebih dari 350 ribu informasi tempat-tempat penting di seluruh dunia (point-of-interest) yang di-deliver sesuai lokasi si pengguna saat itu.
Selain Wikitude, banyak aplikasi Augmented Reality lain yang tak kalah keren. Mashable melalui artikelnya yang dipublish pada 5 Desember 2009 memuat list 10 iPhone apps berbasis AR, dari yang fungsional buat keperluan bisnis atau pendidikan hingga yang sekadar buat fun. Contoh app menarik tersebut adalah Pocket Universe: Virtual Sky Astronomy, iPhone app untuk belajar astronomi yang memuat data 10 ribu bintang, 88 konstelasi bintang, hujan meteor, hingga fase-fase bulan. Cukup arahkan iPhone anda ke langit malam yang lagi cerah, Pocket Universe akan menampilkan informasi tentang bintang atau planet yang sedang anda bidik.
App lain bernama WorkSnug bikinan Plantronic ditujukan buat pekerja digital yang tidak punya kantor tetap, dan mengandalkan kafe atau tempat hangout lain yang memiliki fasilitas Wifi buat tempat menggarap pekerjaan dengan laptopnya. WorkSnug membantu mereka mencari lokasi hotspot dan tempat kerja yang layak - dari warung kopi sampai rent-a-desk office spaces (tempat kerja personal dengan sistem sewa kilat). Infomasi lokasi yang disuplai WorkSnug berasal dari review pengguna yang pernah berada di tempat itu, meliputi kenyamanan tepmat, atmosfer, berisik atau tidak, hingga kualitas kopi yang disuguhkan.
WorkSnug baru tersedia buat mereka yang bertempat tinggal di London. Namun siapa tahu ada developer Indonesia yang mengembangkan iPhone atau Android app sejenis buat kebutuhan pekerja digital di Jakarta dan kota-kota lain yang lebih suka bebas berkantor di mana saja sepanjang akses internet tersedia? Atau barangkali divisi IT Kompas yang akan kembali mempeloporinya sebagai business branch, karena toh definisi "bisnis konten" saat ini sangat luas dan tidak harus terpaku pada produk hasil karya jurnalistik tradisional semata (yang pamornya kian redup dihantam Google dan social media)?
kita juga punya nih jurnal mengenai teknologi augmented reality , silahkan dikunjungi dan dibaca , berikut linknya
BalasHapushttp://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/1103/1/50407037.pdf
semoga bermanfaat yaa :)